Wayang Kulit: Kebudayan Luhur yang Nyaris Ditinggalkan

Zaman telah berubah, kebiasaan masyarakat berubah, kesukaan orang pun berubah. Ketika tahun 1990an dan sebelumnya, di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, malam Jumat adalah malam keramat, di mana pada setiap malam Jumat acara "sakral" di banyak stasiun radio diputar pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Suasana pun makin mencekam, apalagi di kampung-kampung masih banyak yang belum teraliri listrik.

Wayang kulit atau dalam bahasa Jawa disebut ringgit purwo, menceritakan kisah Mahabarata, sebuah perseteruan abadi antara Group Pandawa dan Group Kurawa. Pandawa, yang terdiri dari lima orang bersaudara: Puntadewa atau Yudistira, Werkudara atau Bima, Arjuna atau Parta Kesuma atau Janoko, dan Nakula serta Sadewa yang mewakili kelompok yang baik dan lurus, sementara group Kurawa adalah kelompok yang dipersonifikasikan sebagai kelompok yang selalu membuat onar, mau menang sendiri, memaksakan kehenda, serta berbagai gambaran negatif lainnya. 

Wayang kulit sendiri memiliki gagrag yang beragam: ada gagrak Solo, Gagrag Banyumasan, Gagrak Jawa Timuran, Gagrak Indramayu, Gagrak Semarangan, dan gagrak-gagrak lain. Meskipun secara umum penceritaannya mirip, namun ada beberapa perbedaan antara gagrak satu dengan gagrak lainnya. Perbedaan itu disebabkan dari penceritaan turun temurun dari jaman Majapahit akhir, yakni mulai Islam berkembang pesat di Pulau Jawa, sampai abad 20-an, terbatasi oleh sarana komunikasi antara satu gagrak dengan gagrak lain. 

Ketika teknologi semakin berkembang, dan sarana serta sumber hiburan mulai beragam, wayang kulit nyaris tidak laku. Wayang kulit kini hampir seperti tinggal sejarah. Jika dulu pagelaran wayang kulit menjadi salah satu hiburan favorit pada saat hajatan, kini pagelaran wayang kulit hanya ada di acara-acara tertentu, misalnya di acara syukuran desa, sedekah bumi, dan malam Suro, itu pun sangat terbatas. 

Namun, terlepas dari ketidak-favoritan wayang kulit, ajaran budi pekerti serta nilai-nilai luhur dari ceritera pewayangan ini memiliki nilai yang adiluhung, tinggi.

Semoga, kebudayaan yang adiluhung wayang kulit ini akan tetap lestari, sebagai ciri khas bangsa Indonesia, sebagai sarana penyampaian budi pekerti yang mulai, setelah ajaran agama tentunya.

Cintai budaya Indonesia dengan salah satu caranya mencintai budaya wayang kulit. 

Jika Anda tertarik untuk mengkoleksi file-file MP3 wayang kulit dari berbagai gagrak, Anda dapat mendownloadnya di Wayang Prabu.

0 Response to "Wayang Kulit: Kebudayan Luhur yang Nyaris Ditinggalkan"