Sarjana Jadi Tukang Ngarit, Hinakah?

Setelah keluar dari perusahaan freight forwarding internasional di Semarang, saya tidak punya ide apapun, saya tidak ada tujuan apapun. Pada saat itu, April - Juni 2011, adalah titik nadir dalam hidupku, titik terendah dalam hidupku hingga saat ini, saat di mana aku merasa telah kehilangan semuanya. Harapan besarku untuk membesarkan anakku bersama istri tercintaku musnah, saat aku ditendang istriku dan dia memilih pria anaknya orang kaya. Teramat sakit.

Tidak punya arah, tidak punya tujuan. Jarang makan, tidak pernah mandi, dan tiap hari aku hanya ngopi dan merokok. Itulah aktivitas rutinku. Aku juga jarang tidur. Kepalaku terasa sangat panas. Tidak ada lagi yang aku inginkan. Kota Semarang adalah saksi di mana aku keluyuran siang maupun malam. Nongkrong di perempatan lampu merah hanya untuk melihat orang berbahagia dengan anak istrinya. Mengapa mereka berbahagia? Tidakkah aku berhak untuk bahagia dengan anak dan istriku? Itu yang jadi pertanyaan dalam diriku. Aku lihat mereka tertawa, bersendau gurau. Aku sangat merindukan itu, tetapi faktanya saat itu adalah aku tidak memilikinya.

Juni 2011 temanku terus memberi masukkan padaku sehingga aku sadar bahwa apapun yang terjadi di dunia ini yang menimpaku adalah yang terbaik untukku. Tugasku bukanlah meratapi, tetapi aku harus bangkit. Ini adalah cara Tuhan menyayangiku. Dan aku sangat berterima kasih padanya. Aku diajari bisnis. Cukup lumayan aku dapat hasil. Tetapi kemudian bisnisku hancur juga. 

Mei 2012, di saat bisnisku hancur, aku tidak punya modal lagi dan tidak punya apa-apa lagi untuk memulai sesuatu yang baru. Dan saat itu aku kehilangan ide. Satu-satunya ideku adalah pulang kampung, ke rumah orang tuaku. Di rumahku di Cilacap, aku bingung apa yang harus aku lakukan. Tetapi temanku selalu bilang, "Lakukan sesuatu jika engkau tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Lakukan saja."

Bapakku memelihara kambing. Lumayan 14 ekor. Waktu masih kelas 4 SD sampai kelas 2 SMP aku pulang sekolah selalu ngarit. Kupikir inilah yang bisa aku lakukan, membantu bapakku ngarit untuk 14 ekor kambing. Sejak saat itu aku jadi tukang ngarit hingga awal Desember 2012. 

Tetanggaku pun mengunjingku. "Percuma saja sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya hanya jadi tukang ngarit. Sarjana kok jadi tukang ngarit. Coba si A, dia gak sekolah saja bisa punya rumah, bisa punya ini dan itu," itu bahasa-bahasa yang pernah aku dengar dari sebagian tetanggaku. 

Bahkan ada yang langsung bilang padaku, ia sengaja datang ke rumahku, dan berkata, "Kamu ini bodoh, sudah enak-enak jadi guru mengapa keluar? Kamu itu mestinya harus telaten, harus sabar lan narimo. Sekarang apa untungnya jadi tukang ngarit?"

Bapak yang mendengar itu hanya dia saja, dan aku punya hanya diam, paling-paling tersenyum. Ketika orang itu pergi, bapakku bilang, "Biarkan orang berbicara, mereka tidak akan pernah bertanggung jawab pada hidupmu. Yang penting kamu tahu apa yang kamu lakukan."

Betapa melegakan hati bapakku yang hebat ini. Beliau tidak malu memiliki anak yang punya pendidikan tinggi tetapi jadi cemoohan orang. 

Apakah memang pekerjaan ngarit itu hina? Hinakah seorang sarjana jadi tukang ngarit? Bagaimana dengan para sarjana yang jadi tukang korupsi? Korupsi waktu, korupsi uang dan sebagainya di kantoran sana, dan dari hasil korupsinya itu untuk beli kemewahan? Apakah yang mulia yang seperti itu?

Aku sangat suka dengan iklan Sprite yang mengatakan, "Ku tahu yang ku mau."

Dan aku sangat tahu yang aku inginkan. Aku tidak perlu "mendengarkan" apa kata orang, karena mereka tidak memberiku solusi, mereka hanya mencibirku. Mereka tidak tahu yang aku butuhkan, mereka tidak tahu apa yang aku rencanakan, dan mereka tidak perlu tahu apa yang akan aku lakukan, karena aku tahu mereka juga tidak mengerti yang aku lakukan. Jika pun aku ceritakan pada mereka, mereka hanya akan mentertawakanku. 

Life is such. Keep your faith to what you are sure of! Never give up, no matter what! 

0 Response to "Sarjana Jadi Tukang Ngarit, Hinakah?"